Dedicate to especially for my best Friend that I’ve ever had, my beloved friend, Nisa. Remember me, wherever you are, your friend, your sister…
*****
Pada suatu ketika
Aku bertemu denganmu
Dan aku mengerti
Pertemuan kita bukanlah hal yang tak sengaja
Tapi ada jemari takdir yang mengaturnya
Pun pada suatu ketika
Akhirnya kita sampai pada perpisahan yang mungkin aku benci
Dan sekali lagi aku tersadar
Tak ada kekuatanku untuk menahan pergimu
Dia yang telah mengaturnya dengan begitu indahnya
*****
Aku didatangi sahabatku dan ia menawarkan untuk ikut konferensi Khilafah Internasional di bilangan Senayan kalau tidak salah tahun 2000. Aku menolak dengan cukup halus, saat itu, aku ketakutan karena khawatir akan diajak aliran sesat. Karena saat itu banyak beredar isu aliran sesat yang ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia. Sebelum aku diajak oleh (sebut saja namanya Nisa), temanku itu, aku pernah diajak sama kakak kelas untuk kajian yang perjuangannya adalah mendirikan Negara Islam di Indonesia. Dan aku takut, ngeri kalau sampai temanku juga mengajak yang serupa. Maka sebisa mungkin, dengan berbagai alasan, aku tak mau ikut.. Ia terus menerus mengajak ku tanpa kenal lelah, dan aku terus menerus menolak tanpa kenal lelah pula.
Lain waktu dia datang lagi, kali ini dengan tema yang lain. Ia menjelaskan kepadaku makna jilbab. Aku dulu sedikit tomboy, tapi setelah lulus memutuskan belajar pakai kerudung. Sungguh aneh menurutku, dia menjelaskan jilbab yang berbeda yang selama ini kufahami dan difahami oleh banyak orang. Semakin menjadi-jadi kecurigaanku tentang aliran sesat. Aku merinding dan takut. Akhirnya aku jadi phobi terhadap setiap ajakan kajian Islam, Namun ia dengan kesabarannya tetap mendatangiku.
Hingga suatu ketika, aku pindah kerja, ternyata aku berada satu perusahaan yang sama dengannya, jadilah aku sering berinteraksi dengannya. Ia lalu mengajakku untuk ikut kajian di mushala perusahaan, kali ini aku terpaksa ikut karena tak punya cukup alasan untuk menolak dan tak enak hati terus – menerus menolak ajakannya.
Beberapa kali aku ikut kajian yang pementornya adalah kakak ngaji temanku itu, lain waktu jika si kakak tak bisa datang, maka ia , yang kemudian mengisi kajian. Dan aku, sering, dengan berbagai alasan tidak mengikuti kajian, meski sudah diingatkan untuk hadir. Alasanku saat itu, aku lembur kerja. Aku terselamatkan (menurutku) dengan lembur itu, sehingga aku tidak perlu berbohong untuk tidak ikut kajian. Yes, aku tidak perlu ikut kajian. Selanjutnya, aku hanya sesekali saja ikut kajian, jika kebetulan sempat dan tidak ada lembur.
Waktu terus bergulir, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan berbilang bulan, keikutsertaan aku ikut kajian bukan atas dasar kesadaranku akan kewajiban mengkaji Islam, namun lebih karena tak enak hati kepada Nisa, temanku itu, dan tak punya cukup alasan yang masuk akal untuk menolaknya. Meskipun aku sudah terbilang cukup sering ikut kajian, namun pemahamanku tentang Islam masih jauh panggang dari api. Setiap apa yang disampaikan oleh pementor, tidak ada yang masuk di kepalaku. Materi kajiannya menurutku sangat aneh, tak biasa, terlalu berat. Hingga suatu ketika, di suatu sore, aku berjalan berdua dengan Nisa setelah kerja. Ia menanyakan pendapatku tentang Khilafah, Kapitalisme. Aku tidak mudeng. Sebenarnya Apa itu Khilafah? Apa itu kapitalisme? Meski selama berbulan-bulan ikut kajian, aku masih tidak mudeng juga dengan kedua istilah itu. Ia lalu menjelaskan dengan kesabarannya yang luar biasa, sungguh, aku tidak bohong, dia adalah sahabatku yang luar biasa sabar.
Akhirnya kami, aku dan Nisa, sering bersama lagi, ngobrol setelah pulang kerja. aku dan Nisa jadi dekat lagi, seperti waktu ketika kami masih duduk di bangku SMA. (Nisa adalah teman sebangku ku di kelas satu SMA, kelas dua kami tidak lagi sekelas, kelas tiga kami dipertemukan lagi di kelas yang sama namun tidak sebangku). Kami jadi sering berbagi tentang berbagai masalah. Dan aku jadi merasa agak sebal kalau dia sudah mulai ceramah (hehehe…) tentang ideology Islam, penegakkan Khilafah, karena aku tidak mengerti sama sekali. Namun seiring waktu berjalan, akhirnya aku mudeng juga kalau mereka sedang memperjuangkan penegakkan Khilafah, sebuah Negara Global yang menerapkan Syariah dalam setiap aspek kehidupan. Hanya saja, selebihnya aku tak tahu apa-apa dan aku tak ingin tahu, dan tidak mau dikasih tahu. (bandel juga ya? :P )
Selanjutnya, setiap ahad, ada kajian intensif di mushalla perusahaan yang mengisi adalah kakak ngaji temanku itu, atau jika berhalangan, Nisa yang menggantikan mengisi kajian. Pernah suatu ketika, kakak ngaji Nisa, sebut saja namanya Yuli, berbicara kepadaku tentang kajian yang selama ini aku ikuti. “Bagaimana pendapatmu?” ia bertanya kepadaku. Aku jawab, “bagus!” karena tak ingin mengecewakan. Padahal aku masih setengah hati mengikuti kajian ini, karena selalu tidak enak dengan Nisa. Akhirnya setelah ngobrol-ngobrol yang cukup panjang, kak Yuli mengatakan bahwa ia ingin bertandang ke rumahku. Aku bilang silahkan saja, meski dalam hati, “ngapain sih pake main ke rumah segala?” Jujur saat itu, kalau dibilang masih jahiliyah, aku masih jahiliyah banget. Aku rada-rada kalang kabut juga mendengar kak Yuli mau main ke rumah. Aku teringat di kamarku, banyak tertempel poster-poster Boy Band yang saat itu lagi digandrungi anak muda. Kalau kak Yuli jadi main ke rumah, terus mau shalat dan masuk kamarku, wah bisa kacau urusan!
Akhirnya sampai di rumah, aku buru-buru melepas semua poster-poster Boy Band dari dinding kamarku. Adikku yang perempuan keheranan melihat tingkahku. “Kenapa poster-posernya dilepas semua?” tanyanya. “Guru ngajiku mau datang, aku malu kalau ketahuan masih suka dengan gaya music kayak ginian.” Kataku. “Wah kalau begitu boleh dong buat aku aja poster-posternya?” katanya sembari kesenengan. “Enak aja! Aku lepas poster-poster ini khawatir kepergok sama kak Yuli, kalau kak Yuli sudah main ke rumah dan dia pulang, aku akan pasang lagi.” Adikku hanya tertawa saja mendengarnya.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, kak Yuli tidak datang-datang juga. Dan aku tidak mau menanyakan kapan kak Yuli mau datang, syukur-syukur kalau kak Yuli tidak jadi datang, kan asyik tidak ketahuan kalau aku masih jahiliyah. Hehehe…..
Tapi poster di kamarku masih belum kutempel juga, dan memang poster-poster itu akhirnya tak pernah terpasang lagi di dinding kamarku. Karena awal tahun 2002 aku memutuskan untuk mengikuti jejak Nisa, mengkaji Islam, namun masih dengan setengah hati juga. Lebih karena mengisi kekosongan waktu saja, mereka tentu saja tidak mengetahui kalau aku sekedar ikut-ikutan. Aku memang sudah berjilbab, namun kalau di rumah aku sering tidak menggunakan kaos kaki, karena di kampung tempat tinggalku, penggunaan jilbab disertai dengan kaos kaki dirasa aneh, tak biasa, bahkan sering aku ‘dipelototin’ terus sama setiap orang yang lewat, tukang ojek, ibu-ibu, remaja, bahkan sering diledek sebagai orang Arab. Bukan hanya dari orang-orang luar rumah ujian itu datang, keluarga pun tidak setuju dengan keputusanku memakai jilbab. Mereka menganggap terlalu kuno, jilbab yang aku pakai menjadikan aku terlihat lebih tua, kayak ibu-ibu, padahal aku masih gadis. Lebih baik aku memakai pakaian yang sopan saja, tidak perlu se-ekstrem itu dalam berpakaian. Saat itu, aku jelaskan tentang dalil kewajiban jilbab, bahwa jilbab dan kerudung berbeda, dan jilbab yang seharusnya dipakai kaum muslimah adalah seperti yang aku pakai. Namun kakak-kakakku malah marah, menganggap aku sok tahu, sok menggurui, padahal aku belum pernah masuk pesantren, sementara mereka sudah malang melintang di dunia persilatan, eh pesantren saja tidak se-ektrem aku dalam berpakaian. Aku hanya istighfar dalam hati. Duuh nasib, mau berubah kok ujiannya berat banget…???
Aku tidak mau berputus asa, meski keluarga tidak setuju, aku tetap melanjutkan seluruh aktivitasku. Dan aku ingin membuktikan bahwa perubahanku ini adalah yang diperintahkan, sesuatu yang baik. Aku tetap istiqamah untuk memakai jilbab dan mengaji. Aku sampaikan pemikiran Islam di tengah-tengah keluargaku dengan segala kekuranganku dan semampuku. Sering aku berbeda pendapat dengan keluarga, terutama terkait masalah awal dan akhir Ramadhan, aku dicap macam-macam. Dan ayahku ketakutan dengan hal itu, beliau mengancam akan memboikot aku, tidak akan membiayai kuliahku. Aku sedih sekali, hanya bisa menangis di kamarku. Namun hal itu tidak menyurutkan langkahku. Aku tetap melanjutkan perjuanganku dan sedikit demi sedikit aku sampaikan apa yang aku fahami kepada keluargaku. Sampai suatu ketika, ayahku berbicara kepadaku, “kamu silahkan ikut, tapi kamu jangan mengajak-ajak keluarga ini”. Aku sedikit lega dengan restu Bapak, meski sebenarnya masih sedih juga dengan perkataannya, bukankah itu berarti Bapak sudah menutup diri dari dakwah? Tapi ah, aku tak mau berputus asa. Bukankah Rahmat Allah begitu luas?
Ya, akhirnya aku benar-benar ‘tersesat di jalan yang benar’, setelah sekian lama mengkaji, sedikit banyak telah tertanam pemahaman Islam yang shahih di benakku. Ini semua Karena Nisa yang tak pernah lelah mengajakku.
Aku bersyukur, telah tertunjuki pada mabda yang shahih dengan perantara Nisa. Subahanllah, fabiayyi ‘aalaai Rabbikumaa tukadzdzibaan, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Begitu firman Tuhanku yang aku ingat.
*****
Aku bosan diam
Aku ingin berteriak lantang
Menembus gelap
menembus semua lorong
Menembus cakrawala
Menembus semua lubang telinga
Agar semua tahu
Aku disini ……
Terus mencintaimu karena Allah
******
kemarin lusa ia mengunjungiku, senang sekali dikunjungi setelah sekian lama ia tak sempat lagi membagi waktunya denganku (Maklum sudah double, banyak kewajiban yang menuntut untuk ditunaikan :P ). Kangen banget berbagi canda tawa dengannya, seperti dulu, ketika masa-masa SMA yang telah lewat.
Namun ternyata kunjungannya memberi kejutan lain. Ia berencana akan pindah kota bersama suaminya. Itu artinya, aku tak bisa lagi sesering dulu berjumpa. Dia belum pergi, tapi aku sudah kangen berat. Entahlah…..
Bagaimanapun, ia telah memberi warna lain dalam kehidupanku. Dia yang telah mencerahkan aku dengan ideology Islam. aku belajar banyak hal darinya. Aku belajar arti hidup, Islam, perjuangan, kesabaran, persahabatan, kasih sayang, dll.
Semoga dakwahmu di tempat yang baru semakin menggelinding laksana bola salju yang terus membesar, menggilas siapa saja yang menghalangi tegaknya hukum-Nya di muka bumi, dan menarik siapa saja yang ikhlas untuk berjuang bersama.
Thank you anyway, sis! Thanks for bring me to this path. Without you, I would be nothing.
*****
Sahabat,
Jejak langkahmu
Mendewasakan seluruh ruang hatiku
Dirimu, perkenalan kita, persahabatan kita, perbincangan kita, perjuangan kita, pertengkaran kita, adalah anugerah yang tak terkira
Sungguh tak terkira
Betapa aku mensyukuri setiap kebersamaan kita
Betapa perpisahan itu ada
Agar kita bisa mensyukuri setiap pertemuan yang tercipta
Betapa inginnya aku berada dalam satu naungan denganmu
Pada saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya
Betapa aku ingin berada dekat di sisimu
Bersama para Nabi, para Syuhada dan orang-orang sholih kelak di surga-Nya yang menawan
Barangkali pergimu akan meninggalkan linangan air mata
Tapi bagiku tak mengapa
Namun akan ada yang hilang dari hari-hariku selanjutnya
Sahabat,
Engkaulah yang pertama
Yang meruntuhkan dinding pertahananku
Dari tradisi-tradisi kuno yang membelenggu
Engkau pula yang telah memuaskan dahagaku
Mengenal arti hidup
Seperti tetes embun pertama yang menyejukkan
Terima kasih, sahabat
Akan kesetiaanmu menemaniku
Atas semua pencerahan yang menyinari kegelapanku
Seperti matahari yang setia menyinari bumi
Semoga Allah memuliakanmu sahabatku
Memberimu kebaikan di dunia dan akhiratmu
Aamiin
*****
Wa Allahu ‘alam
*****
Pada suatu ketika
Aku bertemu denganmu
Dan aku mengerti
Pertemuan kita bukanlah hal yang tak sengaja
Tapi ada jemari takdir yang mengaturnya
Pun pada suatu ketika
Akhirnya kita sampai pada perpisahan yang mungkin aku benci
Dan sekali lagi aku tersadar
Tak ada kekuatanku untuk menahan pergimu
Dia yang telah mengaturnya dengan begitu indahnya
*****
Aku didatangi sahabatku dan ia menawarkan untuk ikut konferensi Khilafah Internasional di bilangan Senayan kalau tidak salah tahun 2000. Aku menolak dengan cukup halus, saat itu, aku ketakutan karena khawatir akan diajak aliran sesat. Karena saat itu banyak beredar isu aliran sesat yang ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia. Sebelum aku diajak oleh (sebut saja namanya Nisa), temanku itu, aku pernah diajak sama kakak kelas untuk kajian yang perjuangannya adalah mendirikan Negara Islam di Indonesia. Dan aku takut, ngeri kalau sampai temanku juga mengajak yang serupa. Maka sebisa mungkin, dengan berbagai alasan, aku tak mau ikut.. Ia terus menerus mengajak ku tanpa kenal lelah, dan aku terus menerus menolak tanpa kenal lelah pula.
Lain waktu dia datang lagi, kali ini dengan tema yang lain. Ia menjelaskan kepadaku makna jilbab. Aku dulu sedikit tomboy, tapi setelah lulus memutuskan belajar pakai kerudung. Sungguh aneh menurutku, dia menjelaskan jilbab yang berbeda yang selama ini kufahami dan difahami oleh banyak orang. Semakin menjadi-jadi kecurigaanku tentang aliran sesat. Aku merinding dan takut. Akhirnya aku jadi phobi terhadap setiap ajakan kajian Islam, Namun ia dengan kesabarannya tetap mendatangiku.
Hingga suatu ketika, aku pindah kerja, ternyata aku berada satu perusahaan yang sama dengannya, jadilah aku sering berinteraksi dengannya. Ia lalu mengajakku untuk ikut kajian di mushala perusahaan, kali ini aku terpaksa ikut karena tak punya cukup alasan untuk menolak dan tak enak hati terus – menerus menolak ajakannya.
Beberapa kali aku ikut kajian yang pementornya adalah kakak ngaji temanku itu, lain waktu jika si kakak tak bisa datang, maka ia , yang kemudian mengisi kajian. Dan aku, sering, dengan berbagai alasan tidak mengikuti kajian, meski sudah diingatkan untuk hadir. Alasanku saat itu, aku lembur kerja. Aku terselamatkan (menurutku) dengan lembur itu, sehingga aku tidak perlu berbohong untuk tidak ikut kajian. Yes, aku tidak perlu ikut kajian. Selanjutnya, aku hanya sesekali saja ikut kajian, jika kebetulan sempat dan tidak ada lembur.
Waktu terus bergulir, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan berbilang bulan, keikutsertaan aku ikut kajian bukan atas dasar kesadaranku akan kewajiban mengkaji Islam, namun lebih karena tak enak hati kepada Nisa, temanku itu, dan tak punya cukup alasan yang masuk akal untuk menolaknya. Meskipun aku sudah terbilang cukup sering ikut kajian, namun pemahamanku tentang Islam masih jauh panggang dari api. Setiap apa yang disampaikan oleh pementor, tidak ada yang masuk di kepalaku. Materi kajiannya menurutku sangat aneh, tak biasa, terlalu berat. Hingga suatu ketika, di suatu sore, aku berjalan berdua dengan Nisa setelah kerja. Ia menanyakan pendapatku tentang Khilafah, Kapitalisme. Aku tidak mudeng. Sebenarnya Apa itu Khilafah? Apa itu kapitalisme? Meski selama berbulan-bulan ikut kajian, aku masih tidak mudeng juga dengan kedua istilah itu. Ia lalu menjelaskan dengan kesabarannya yang luar biasa, sungguh, aku tidak bohong, dia adalah sahabatku yang luar biasa sabar.
Akhirnya kami, aku dan Nisa, sering bersama lagi, ngobrol setelah pulang kerja. aku dan Nisa jadi dekat lagi, seperti waktu ketika kami masih duduk di bangku SMA. (Nisa adalah teman sebangku ku di kelas satu SMA, kelas dua kami tidak lagi sekelas, kelas tiga kami dipertemukan lagi di kelas yang sama namun tidak sebangku). Kami jadi sering berbagi tentang berbagai masalah. Dan aku jadi merasa agak sebal kalau dia sudah mulai ceramah (hehehe…) tentang ideology Islam, penegakkan Khilafah, karena aku tidak mengerti sama sekali. Namun seiring waktu berjalan, akhirnya aku mudeng juga kalau mereka sedang memperjuangkan penegakkan Khilafah, sebuah Negara Global yang menerapkan Syariah dalam setiap aspek kehidupan. Hanya saja, selebihnya aku tak tahu apa-apa dan aku tak ingin tahu, dan tidak mau dikasih tahu. (bandel juga ya? :P )
Selanjutnya, setiap ahad, ada kajian intensif di mushalla perusahaan yang mengisi adalah kakak ngaji temanku itu, atau jika berhalangan, Nisa yang menggantikan mengisi kajian. Pernah suatu ketika, kakak ngaji Nisa, sebut saja namanya Yuli, berbicara kepadaku tentang kajian yang selama ini aku ikuti. “Bagaimana pendapatmu?” ia bertanya kepadaku. Aku jawab, “bagus!” karena tak ingin mengecewakan. Padahal aku masih setengah hati mengikuti kajian ini, karena selalu tidak enak dengan Nisa. Akhirnya setelah ngobrol-ngobrol yang cukup panjang, kak Yuli mengatakan bahwa ia ingin bertandang ke rumahku. Aku bilang silahkan saja, meski dalam hati, “ngapain sih pake main ke rumah segala?” Jujur saat itu, kalau dibilang masih jahiliyah, aku masih jahiliyah banget. Aku rada-rada kalang kabut juga mendengar kak Yuli mau main ke rumah. Aku teringat di kamarku, banyak tertempel poster-poster Boy Band yang saat itu lagi digandrungi anak muda. Kalau kak Yuli jadi main ke rumah, terus mau shalat dan masuk kamarku, wah bisa kacau urusan!
Akhirnya sampai di rumah, aku buru-buru melepas semua poster-poster Boy Band dari dinding kamarku. Adikku yang perempuan keheranan melihat tingkahku. “Kenapa poster-posernya dilepas semua?” tanyanya. “Guru ngajiku mau datang, aku malu kalau ketahuan masih suka dengan gaya music kayak ginian.” Kataku. “Wah kalau begitu boleh dong buat aku aja poster-posternya?” katanya sembari kesenengan. “Enak aja! Aku lepas poster-poster ini khawatir kepergok sama kak Yuli, kalau kak Yuli sudah main ke rumah dan dia pulang, aku akan pasang lagi.” Adikku hanya tertawa saja mendengarnya.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, kak Yuli tidak datang-datang juga. Dan aku tidak mau menanyakan kapan kak Yuli mau datang, syukur-syukur kalau kak Yuli tidak jadi datang, kan asyik tidak ketahuan kalau aku masih jahiliyah. Hehehe…..
Tapi poster di kamarku masih belum kutempel juga, dan memang poster-poster itu akhirnya tak pernah terpasang lagi di dinding kamarku. Karena awal tahun 2002 aku memutuskan untuk mengikuti jejak Nisa, mengkaji Islam, namun masih dengan setengah hati juga. Lebih karena mengisi kekosongan waktu saja, mereka tentu saja tidak mengetahui kalau aku sekedar ikut-ikutan. Aku memang sudah berjilbab, namun kalau di rumah aku sering tidak menggunakan kaos kaki, karena di kampung tempat tinggalku, penggunaan jilbab disertai dengan kaos kaki dirasa aneh, tak biasa, bahkan sering aku ‘dipelototin’ terus sama setiap orang yang lewat, tukang ojek, ibu-ibu, remaja, bahkan sering diledek sebagai orang Arab. Bukan hanya dari orang-orang luar rumah ujian itu datang, keluarga pun tidak setuju dengan keputusanku memakai jilbab. Mereka menganggap terlalu kuno, jilbab yang aku pakai menjadikan aku terlihat lebih tua, kayak ibu-ibu, padahal aku masih gadis. Lebih baik aku memakai pakaian yang sopan saja, tidak perlu se-ekstrem itu dalam berpakaian. Saat itu, aku jelaskan tentang dalil kewajiban jilbab, bahwa jilbab dan kerudung berbeda, dan jilbab yang seharusnya dipakai kaum muslimah adalah seperti yang aku pakai. Namun kakak-kakakku malah marah, menganggap aku sok tahu, sok menggurui, padahal aku belum pernah masuk pesantren, sementara mereka sudah malang melintang di dunia persilatan, eh pesantren saja tidak se-ektrem aku dalam berpakaian. Aku hanya istighfar dalam hati. Duuh nasib, mau berubah kok ujiannya berat banget…???
Aku tidak mau berputus asa, meski keluarga tidak setuju, aku tetap melanjutkan seluruh aktivitasku. Dan aku ingin membuktikan bahwa perubahanku ini adalah yang diperintahkan, sesuatu yang baik. Aku tetap istiqamah untuk memakai jilbab dan mengaji. Aku sampaikan pemikiran Islam di tengah-tengah keluargaku dengan segala kekuranganku dan semampuku. Sering aku berbeda pendapat dengan keluarga, terutama terkait masalah awal dan akhir Ramadhan, aku dicap macam-macam. Dan ayahku ketakutan dengan hal itu, beliau mengancam akan memboikot aku, tidak akan membiayai kuliahku. Aku sedih sekali, hanya bisa menangis di kamarku. Namun hal itu tidak menyurutkan langkahku. Aku tetap melanjutkan perjuanganku dan sedikit demi sedikit aku sampaikan apa yang aku fahami kepada keluargaku. Sampai suatu ketika, ayahku berbicara kepadaku, “kamu silahkan ikut, tapi kamu jangan mengajak-ajak keluarga ini”. Aku sedikit lega dengan restu Bapak, meski sebenarnya masih sedih juga dengan perkataannya, bukankah itu berarti Bapak sudah menutup diri dari dakwah? Tapi ah, aku tak mau berputus asa. Bukankah Rahmat Allah begitu luas?
Ya, akhirnya aku benar-benar ‘tersesat di jalan yang benar’, setelah sekian lama mengkaji, sedikit banyak telah tertanam pemahaman Islam yang shahih di benakku. Ini semua Karena Nisa yang tak pernah lelah mengajakku.
Aku bersyukur, telah tertunjuki pada mabda yang shahih dengan perantara Nisa. Subahanllah, fabiayyi ‘aalaai Rabbikumaa tukadzdzibaan, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Begitu firman Tuhanku yang aku ingat.
*****
Aku bosan diam
Aku ingin berteriak lantang
Menembus gelap
menembus semua lorong
Menembus cakrawala
Menembus semua lubang telinga
Agar semua tahu
Aku disini ……
Terus mencintaimu karena Allah
******
kemarin lusa ia mengunjungiku, senang sekali dikunjungi setelah sekian lama ia tak sempat lagi membagi waktunya denganku (Maklum sudah double, banyak kewajiban yang menuntut untuk ditunaikan :P ). Kangen banget berbagi canda tawa dengannya, seperti dulu, ketika masa-masa SMA yang telah lewat.
Namun ternyata kunjungannya memberi kejutan lain. Ia berencana akan pindah kota bersama suaminya. Itu artinya, aku tak bisa lagi sesering dulu berjumpa. Dia belum pergi, tapi aku sudah kangen berat. Entahlah…..
Bagaimanapun, ia telah memberi warna lain dalam kehidupanku. Dia yang telah mencerahkan aku dengan ideology Islam. aku belajar banyak hal darinya. Aku belajar arti hidup, Islam, perjuangan, kesabaran, persahabatan, kasih sayang, dll.
Semoga dakwahmu di tempat yang baru semakin menggelinding laksana bola salju yang terus membesar, menggilas siapa saja yang menghalangi tegaknya hukum-Nya di muka bumi, dan menarik siapa saja yang ikhlas untuk berjuang bersama.
Thank you anyway, sis! Thanks for bring me to this path. Without you, I would be nothing.
*****
Sahabat,
Jejak langkahmu
Mendewasakan seluruh ruang hatiku
Dirimu, perkenalan kita, persahabatan kita, perbincangan kita, perjuangan kita, pertengkaran kita, adalah anugerah yang tak terkira
Sungguh tak terkira
Betapa aku mensyukuri setiap kebersamaan kita
Betapa perpisahan itu ada
Agar kita bisa mensyukuri setiap pertemuan yang tercipta
Betapa inginnya aku berada dalam satu naungan denganmu
Pada saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya
Betapa aku ingin berada dekat di sisimu
Bersama para Nabi, para Syuhada dan orang-orang sholih kelak di surga-Nya yang menawan
Barangkali pergimu akan meninggalkan linangan air mata
Tapi bagiku tak mengapa
Namun akan ada yang hilang dari hari-hariku selanjutnya
Sahabat,
Engkaulah yang pertama
Yang meruntuhkan dinding pertahananku
Dari tradisi-tradisi kuno yang membelenggu
Engkau pula yang telah memuaskan dahagaku
Mengenal arti hidup
Seperti tetes embun pertama yang menyejukkan
Terima kasih, sahabat
Akan kesetiaanmu menemaniku
Atas semua pencerahan yang menyinari kegelapanku
Seperti matahari yang setia menyinari bumi
Semoga Allah memuliakanmu sahabatku
Memberimu kebaikan di dunia dan akhiratmu
Aamiin
*****
Wa Allahu ‘alam