“Ada gak?” Tanyanya memotong pembicaraan dengan nada yang tinggi.
“Tunggu dulu, aku mau menjelaskan…..” Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, ia sudah memotong lagi.
“Pertanyaannya Cuma ada gak?” Dia tampak emosional, aku pun kesal.
“Sebentar dulu, aku hanya ingin menjelaskan kenapa sampai saat ini belum ada modul, aku hanya ingin menjelaskan filosofinya, kalau kamu hanya mau hasilnya ada atau gak, berarti kamu tidak menghargai proses, padahal tidak ada hasil tanpa proses.” Kataku tak mau kalah.
“begini, kenapa disini tidak disediakan modul, karena disini semua guru diharapkan kreatif untuk mengembangkan kurikulum dan silabus menjadi modul itu sendiri, dan kita tidak dibiarkan berjalan sendiri, tetapi kita telah diberi panduan dalam diklat-diklat, ada kurikulum, silabus, semua itu bisa kita jadikan modul untuk mengajar nanti. Kita diberikan kail dan umpan, selanjutnya kitalah yang mengusahakan sendiri bagaimana cara mendapatkan ikan. Mengerti maksudku?” Kataku, ia diam saja. Sungguh, orang ini telah membuat kesal banyak orang. Sampai-sampai temanku saja keluar dari ruangan saking kesalnya. Satu sisi aku mengerti kesulitan dan kebingungannya dalam mengajar, karena ia guru baru. Sisi yang lain, aku tidak suka sikapnya yang arogan, egois, tidak mau mendengarkan penjelasan dari orang lain.
sikap arogan yang tidak mau mendengarkan penjelasan itu yang membuat salah satu temanku teringat akan kejadian hari kemarin, saat ia disidang sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik. Ia didakwa sebagai orang yang telah menyebarkan isu yang dianggap telah membuat nama baik seseorang menjadi ‘tercoreng’, tanpa diberikan penjelasan duduk persoalan yang sebenarnya. Ia telah divonis bersalah tanpa ampun, tanpa pembelaan, tanpa klarifikasi. Sungguh kejam!
Ah, kenapa ya masih saja ada orang-orang yang sombong di dunia ini? Padahal ia “tak punya apa-apa” dan “tidak bisa apa-apa”. Padahal yang bisa segalanya dan memiliki segalanya hanyalah Allah saja. Tetapi kebanyakan manusia tampak sombong, kurang bisa menjaga lisan, merasa diri paling benar yang lain salah, merasa diri paling baik yang lain tidak baik, merasa diri paling pintar dan yang lain tampak bodoh.
Aku mendekati temanku yang tampak sedih dengan berbagai kejadian beberapa hari ini yang menghakiminya menjadi tersalah.
“Segala kejadian yang menyulitkanmu beberapa hari ini adalah jalan yang harus kau tempuh yang nanti akan menghantarkanmu menuju jalan kemudahan. Yakinlah, tak ada beban tanpa pundak. Sesungguhnya setelah kesulitan akan ada kemudahan. Seperti orang yang naik sepeda, ia harus berusaha keras mengayuh sepeda pada saat tanjakan, namun setelah tanjakan akan ada turunan. Kamu bisa melenggang tanpa kepayahan pada saat turunan setelah sebelumnya kamu payah pada saat tanjakan.” Kataku berusaha menghibur. Ia hanya menangis. Aku mengerti, ia menanggung beban yang berat. Sepertinya ia ingin berlari, teriak sekencang-kencangnya untuk melepaskan segala beban di dada.
“Kamu jangan dendam ya! Kamu harus sabar!” kataku lagi. Ia hanya berusai air mata.
“Maafkan mereka, biarlah urusan ini tersimpan disisi-Nya dan menjadi kebaikan bagimu kelak.”
Mungkin marah, kesal, berkata tidak ahsan, Kurang bisa menjaga lisan sehingga berbuntut pada sakit hatinya seseorang, adalah hal yang sering kita lakukan, termasuk aku. Namun kadang berakhir dengan sedih, terisak, menangis, menyesal, takut, marah pada diri sendiri, merasa lemah dan khilaf, karena merasa diri paling hina telah melakukan salah dan khilaf. Semoga kita semua dijaga diri, lisan, pandangan, hati, perilaku oleh Dia Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia, Zat Yang Maha Sempurna. Dia-lah segalanya.
Maafkan aku
Bumi Allah, Akhir September 2013